Sore kemarin – Selasa, 06 Maret 2012 – saya pulang kantor rada “tenggo”,
jadi sampai di rumah jam 17.30-an, saya sempat nonton acara
“Orang-Orang Pinggiran” di Trans7. Dada saya sesak menyaksikannya, air
mata saya meleleh tanpa bisa ditahan, tak mampu berkata-kata. Siti,
seorang bocah yatim yang ditinggal mati ayahnya sejak usia 2 tahun. Kini
Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih harus
berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena ia masih anak-anak, tentu
belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya dimasukkan
dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak seusianya.
Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik hitam
berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan
terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar
masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli,
Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum
ia tak punya meja. Terkadang jika ada anak yang membeli baksonya, Siti
ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah, menahan
keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak
saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran
seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.
Sampai di rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh
mencangkul lumpur di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia mendapat
upah uang tunai. Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak panenan
berhasil ia akan mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti
berlumur lumpur sampai setinggi paha. Ia hanya bisa berharap kelak
panenan benar-benar berhasil agar bisa mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya,
mengetuk pintu dan meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski
sebenarnya Siti bisa saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat
pesan Ibunya untuk selalu minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah
diijinkan, Siti langsung berkubang di empang untuk memetik kangkung,
sebatas kebutuhannya bersama Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti
menyerahkan 2000 perak yang didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya.
Lalu Ibunya memasak kangkung hanya dengan garam. Berdua mereka makan di
atas piring seng tua, sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua
hanya dengan kangkung dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata
Ibunda Siti.
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah menenteng beban berat
keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan. Kondisi rumahnya pun
hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk, atapnya bocor sana-sini.
Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan kondisi kelelahan, dia
kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga petang hari.
Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika anak-anak lain di
kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang bekerja di kota,
Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti sudah paham
bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke makam ayahnya,
berdoa disana. Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang pembeli nisan.
Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti. Dengan rajin Siti
menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya. Disanalah Siti
bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan doa. Dalam doanya
Siti selalu memohon agar dberi kesehatan supaya bisa tetap sekolah dan
mengaji. Keinginan Siti sederhana saja : bisa beli sepatu dan tas untuk
dipakai sekolah sebab miliknya sudah rusak.
|
Siti di depan rumahnya yang |
Kepikiran dengan konsidi Siti, dini hari terbangun dari tidur saya buka
internet dan searchsitus Trans7 khususnya acara Orang-Orang Pinggiran.
Akhirnya saya dapatkan alamat Siti di Kampung Cipendeuy, Desa Cibereum,
Cilangkahan, Banten dan nomor contact person
Pak Tono 0858 1378 8136.
Usai sholat Subuh saya hubungi Pak Tono, meski agak sulit bisa
tersambung. Beliau tinggal sekitar 50 km jauhnya dari kampung Siti. Pak
Tono-lah yang menghubungi Trans7 agar mengangkat kisah hidup Siti di
acara OOP. Menurut keterangan Pak Tono, keluarga itu memang sangat
miskin, Ibunda Siti tak punya KTP. Pantas saja dia tak terjangkau
bantuan resmi Pemerintah yang selalu mengedepankan persyaratan legalitas
formal ketimbang fakta kemiskinan itu sendiri. Pak Tono bersedia
menjemput saya di Malimping, lalu bersama-sama menuju rumah Siti, jika
kita mau memberikan bantuan. Pak Tono berpesan jangan bawa mobil sedan
sebab tak bakal bisa masuk dengan medan jalan yang berat.
Saya pun lalu menghubungi Rumah Zakat kota Cilegon. Saya meminta pihak
Rumah Zakat sebagai aksi “tanggap darurat” agar bisa menyalurkan kornet
Super Qurban agar Siti dan Ibunya bisa makan daging, setidaknya
menyelematkan mereka dari ancaman gizi buruk. Dari obrolan saya dengan
Pengurus Rumah Zakat, saya sampaikan keinginan saya untuk memberi Siti
dan Ibunya “kail”. Memberi “ikan” untuk tahap awal boleh-boleh saja,
tapi memberdayakan Ibunda Siti agar bisa mandiri secara ekonomi tentunya
akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Saya berpikir alangkah
baiknya memberi modal pada Ibunda Siti untuk berjualan makanan dan buka
warung bakso, agar kedua ibu dan anak itu tidak terpisah seharian. Siti
juga tak perlu berlelah-lelah seharian, dia bisa bantu Ibunya berjualan
sambil belajar.
(Alagkah lebih baik kalau Siti bisa melayani pembeli di warung bersama Ibunya,
jadi dia tak perlu kelelahan seharian)
Mengingat untuk memberi “kail” tentu butuh dana tak sedikit, pagi ini
saya menulis kisah Siti dan memforward ke grup-grup BBM yang ada di
kontak BB saya. Juga melaluiFacebook. Alhamdulillah sudah ada beberapa
respon positif dari beberapa teman saya. Bahkan ada yang sudah tak sabar
ingin segera diajak ke Malimping untuk menemui Siti dan memeluknya.
Bukan hanya bantuan berupa uang yang saya kumpulkan, tapi jika ada
teman-teman yang punya putri berusia 7-8 tahun, biasanya bajunya cepat
sesak meski masih bagus, alangkah bermanfaat kalau diberikan pada Siti.
Adapula teman yang menawarkan jadi orang tua asuh Siti dan mengajak Siti
dan Ibunya tinggal di rumahnya. Semua itu akan saya sampaikan kepada
Pak Tono dan Ibunda Siti kalau saya bertemu nanti. Saya menulis artikel
ini bukan ingin menjadikan Siti seperti Darsem, TKW yang jadi milyarder
mendadak dan kemudian bermewah-mewah dengan uang sumbangan donatur
pemirsa TV sehingga pemirsa akhirnya mensomasi Darsem. Jika permasalahan
Siti telah teratasi kelak, uang yang terkumpul akan saya minta kepada
Rumah Zakat untuk disalurkan kepada Siti-Siti lain yang saya yakin
jumlahnya ada beberapa di sekitar kampung Siti.
Mengetuk hati penguasa formal, mungkin sudah tak banyak membantu. Saya
menulisshout kepada Ibu Atut sebagai “Ratu” penguasa Banten ketika
kejadian jembatan ala Indiana Jones terekspose, tapi toh tak ada respon.
Di media massa juga tak ada tanggapan dari Gubernur Banten meski kisah
itu sudah masuk pemberitaan media massa internasional. Tapi dengan
melalui grup BBM, Facebook dan Kompasiana, saya yakin masih ada
orang-rang yang terketuk hatinya untuk berbagi dan menolong. Berikut
saya tampilkan foto-foto Siti yang saya ambil dari FB Orang-Orang
Pinggiran. Semoga menyentuh hati nurani kita semua.
(Termos penuh berisi kuah bakso tentu tidak ringan untuk ukuran anak seusia Siti)